Senin, 16 Juni 2014

Twin Connection ( Part I )

hello guys!! disini saya memosting sebuah cerita yang menarik bagi saya mengenai dua orang anak kembar identik (Areta dan adelle) yang memiliki perbedaan . . sedikit isi ceritanya : "dulu mereka sangat dekat dan memiliki selera yang sama,, cuman karena ada sesuatu yang membuat Areta berubah, dan Adelle tidak menyukai perubahan Areta yang baginya sangat aneh" . ingin tau ceritanya lebih detail,, saya berharap guys membacanya dengan penuh penghayatan. Selamat Membaca . .  >>>
 

Twin connection
Brak!!
“Ya Tuhan, kau gila Areta! Kau sudah gila!” jeritku. Tanganku meremas gagang pintu. Aku masih berharap mataku salah menyampaikan pesan gambar yang ditransfer oleh otakku. Namun meski aku berkedip berkali-kali, Areta tetap di sana, dengan pakaian putih anehnya, membeku di tempatnya. Dalam sepersekian detik, kami saling menatap. Lalu kesadaran itu membuncah. Areta berlari ke arah pintu dan menyeretku paksa, masuk dalam kamarnya. Lalu kudengar ia membanting pintu di belakangku dan menguncinya dua kali.
Kini kami berdiri berhadap-hadapan. Areta menggosok wajahnya dengan tangan, lalu memiringkan kepalanya ke arahku. “Apa yang kau lihat, Ardelle?” Perlahan ia membuka dan melipat pakaian anehnya. Tangannya gemetar.
“Aku melihat orang gila berpakaian putih aneh, yang bergerak dengan gerakan asing di mataku.” tuturku dingin.
“Meski kita belakangan ini tak terlalu dekat, aku harap kau mempercayai keputusanku ini. Kau pasti ingat, ketika kau memutuskan untuk berdandan dan berpakaian yang berbeda denganku, aku mempercayai keputusanmu.”
“Oh, kau memanfaatkan stok cerita masa lalu. Kau berharap cerita itu bisa menjadi alat barter bagiku untuk menerima keputusanmu?” aku mendengus.
Dia menghirup napas dengan frustasi lewat hidungnya. Ia bagai anak kecil yang coba menyusun puzzle agar kembali utuh. Sayang puzzle itu telah kehilangan kepingan-kepingan gambarnya.
“Kumohon mengertilah. Aku tahu ini tak mudah. Tapi bagaimanapun, kau adalah saudaraku. Aku butuh dukunganmu.”
“Kali ini kau memanfaatkan status kekembaran kita ya? Aku takkan mendukungmu. Tidak akan.”
Aku bergegas keluar. Meninggalkan mata birunya yang lelah menatapku. Sebelum aku benar-benar meninggalkan kamar, sempat kudengar ia memohon lagi.
“Tolong jangan ceritakan pada ayah, bahwa kau melihat aku sholat.”
Aku mendengus. Lagi. Sebenarnya aku bisa saja menginterogasinya kali ini. Menanyakan di mana ia mendapatkan gerakan bodoh itu, pakaian aneh itu, atau bahkan pemikiran aneh itu. Namun hal itu enggan kulakukan. Masalahnya sepele, dua tahun lalu, ketika kami SMA, menjelang kelulusan, ia keluar dari tim pemandu sorak sekolah kami, tepat sehari sebelum pementasan. Ia keluar begitu saja, dan memporak-porandakan format kami.
Sebagai saudaranya, kembar identik pula, akulah yang didaulat paling besar memikul tanggung jawab kepergiannya. Seperti orang bodoh, aku terus membujuk dan menanyakan alasan ia keluar. Menjadi anggota tim pemandu sorak adalah impian setiap gadis di sekolah kami. Hal apa yang kira-kira terendap dibenakmu hingga kau keluar dari tim yang paling bergengsi di sekolahmu?
Bila kau tak tahu jawabannya, begitulah kira-kira yang terjadi padaku. Aku benar-benar frustasi dibuatnya. Namun begitu aku tahu alasannya, gelombang kemuakan menerpaku. Areta keluar, hanya untuk sebuah alasan: ia tak ingin tampil dengan rok di atas lutut.
Aku sangat marah hingga ubun-ubunku nyaris meledak. “Kenakan saja gaun tidurmu saat kau tampil nanti. Kau akan tampil tertutup dan tak satu pun sudi menontonmu.” Kataku saat itu. Ia bergeming. Benar-benar tanpa perlawanan. Namun lelehan air matanya menjawab satu hal, ia sangat terluka lebih dari apa yang kulihat.
Sejak itu kami tak lagi dekat. Kami menghabiskan waktu remaja kami dengan teman dan pergaulan yang berbeda. Meski akhirnya kami sama-sama masuk Tulane University, New Orleans, kami mengambil jurusan yang berbeda. Aku memilih Liberal Arts dan hukum adalah pilihannya.
Kendati kami berpenampilan berbeda –sejak kecil ayah kami, Jorell Barnes, memberi kebebasan pada kami dalam memilih jenis pakaian. Karena tampil sama, menurut ayah artinya tidak mengakui hak kebebasan kami— banyak orang salah mengenali kami, kecuali Mom tentunya. Setelah Mom meninggal, maka otomatis tak ada lagi orang yang benar-benar dapat membedakan kami.
Aku gemetar menuruni anak tangga. Bayangan Areta dalam balutan pakaian putih anehnya terus menggumpal di otakku. Dari mana Areta mempelajari agama yang asing bagi keluargaku itu?


(tunggu kelanjutan ceritanya) . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar