Twin connection
Brak!!
“Ya
Tuhan, kau gila Areta! Kau sudah gila!” jeritku. Tanganku meremas gagang pintu.
Aku masih berharap mataku salah menyampaikan pesan gambar yang ditransfer oleh
otakku. Namun meski aku berkedip berkali-kali, Areta tetap di sana, dengan
pakaian putih anehnya, membeku di tempatnya. Dalam sepersekian detik, kami
saling menatap. Lalu kesadaran itu membuncah. Areta berlari ke arah pintu dan
menyeretku paksa, masuk dalam kamarnya. Lalu kudengar ia membanting pintu di
belakangku dan menguncinya dua kali.
Kini
kami berdiri berhadap-hadapan. Areta menggosok wajahnya dengan tangan, lalu
memiringkan kepalanya ke arahku. “Apa yang kau lihat, Ardelle?” Perlahan ia
membuka dan melipat pakaian anehnya. Tangannya gemetar.
“Aku
melihat orang gila berpakaian putih aneh, yang bergerak dengan gerakan asing di
mataku.” tuturku dingin.
“Meski
kita belakangan ini tak terlalu dekat, aku harap kau mempercayai keputusanku
ini. Kau pasti ingat, ketika kau memutuskan untuk berdandan dan berpakaian yang
berbeda denganku, aku mempercayai keputusanmu.”
“Oh,
kau memanfaatkan stok cerita masa lalu. Kau berharap cerita itu bisa menjadi
alat barter bagiku untuk menerima keputusanmu?” aku mendengus.
Dia
menghirup napas dengan frustasi lewat hidungnya. Ia bagai anak kecil yang coba
menyusun puzzle agar kembali utuh. Sayang puzzle itu telah kehilangan
kepingan-kepingan gambarnya.
“Kumohon
mengertilah. Aku tahu ini tak mudah. Tapi bagaimanapun, kau adalah saudaraku.
Aku butuh dukunganmu.”
“Kali
ini kau memanfaatkan status kekembaran kita ya? Aku takkan mendukungmu. Tidak
akan.”
Aku
bergegas keluar. Meninggalkan mata birunya yang lelah menatapku. Sebelum aku
benar-benar meninggalkan kamar, sempat kudengar ia memohon lagi.
“Tolong
jangan ceritakan pada ayah, bahwa kau melihat aku sholat.”
Aku
mendengus. Lagi. Sebenarnya aku bisa saja menginterogasinya kali ini. Menanyakan
di mana ia mendapatkan gerakan bodoh itu, pakaian aneh itu, atau bahkan
pemikiran aneh itu. Namun hal itu enggan kulakukan. Masalahnya sepele, dua
tahun lalu, ketika kami SMA, menjelang kelulusan, ia keluar dari tim pemandu
sorak sekolah kami, tepat sehari sebelum pementasan. Ia keluar begitu saja, dan
memporak-porandakan format kami.
Sebagai
saudaranya, kembar identik pula, akulah yang didaulat paling besar memikul
tanggung jawab kepergiannya. Seperti orang bodoh, aku terus membujuk dan
menanyakan alasan ia keluar. Menjadi anggota tim pemandu sorak adalah impian
setiap gadis di sekolah kami. Hal apa yang kira-kira terendap dibenakmu
hingga kau keluar dari tim yang paling bergengsi di sekolahmu?
Bila
kau tak tahu jawabannya, begitulah kira-kira yang terjadi padaku. Aku
benar-benar frustasi dibuatnya. Namun begitu aku tahu alasannya, gelombang
kemuakan menerpaku. Areta keluar, hanya untuk sebuah alasan: ia tak ingin
tampil dengan rok di atas lutut.
Aku
sangat marah hingga ubun-ubunku nyaris meledak. “Kenakan saja gaun tidurmu saat
kau tampil nanti. Kau akan tampil tertutup dan tak satu pun sudi menontonmu.”
Kataku saat itu. Ia bergeming. Benar-benar tanpa perlawanan. Namun lelehan air
matanya menjawab satu hal, ia sangat terluka lebih dari apa yang kulihat.
Sejak
itu kami tak lagi dekat. Kami menghabiskan waktu remaja kami dengan teman dan
pergaulan yang berbeda. Meski akhirnya kami sama-sama masuk Tulane University,
New Orleans, kami mengambil jurusan yang berbeda. Aku memilih Liberal Arts
dan hukum adalah pilihannya.
Kendati
kami berpenampilan berbeda –sejak kecil ayah kami, Jorell Barnes, memberi
kebebasan pada kami dalam memilih jenis pakaian. Karena tampil sama, menurut
ayah artinya tidak mengakui hak kebebasan kami— banyak orang salah mengenali
kami, kecuali Mom tentunya. Setelah Mom meninggal, maka otomatis tak ada lagi
orang yang benar-benar dapat membedakan kami.
Aku
gemetar menuruni anak tangga. Bayangan Areta dalam balutan pakaian putih
anehnya terus menggumpal di otakku. Dari mana Areta mempelajari agama yang
asing bagi keluargaku itu?
(tunggu kelanjutan ceritanya) . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar