Aku
termangu di depan kanvasku. Beberapa rekanku telah menumpahkan emosinya pada
masing-masing kanvas di hadapan mereka yang ditopang kaki tiga. Bagai tersihir,
masing-masing dari mereka mulai tak menyadari meski ada orang lain di dekat
mereka. Seperti ada tirai-tirai putih dari langit yang melingkupi, sehingga
yang ada hanya kau dan kanvasmu. Tak perlu ada objek, karena tema lukisan kali
ini adalah melukis yang ada di kepala. Aku mulai memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi.
Mula-mula aku hanya mendapatkan bayangan dalam kepalaku. Perlahan-lahan
bayangan itu kian jelas, kian dekat, hingga aku mendapatkan gambaran hingga ke
garis-garis detailnya. Kuas –yang konon terbuat dari bulu musang— yang ada di
tanganku terus bergerak, bergerak dan bergerak.
“Nona
Barnes, apa yang kau lukis?” Suara bariton Mr. Frank mengejutkanku,
mengembalikan kesadaran akan suasana kelasku. Aku menoleh, mendapati pembimbing
kelas melukisku itu berdiri di sampingku, dengan mata menyipit menatap
lukisanku. Aku berbalik kembali, turut menatap hasil lukisanku yang belum
sempurna. Seraut wajah cantik perempuan dengan penutup kepala yang terjulur
hingga dadanya. Penutup kepala yang biasa dikenakan perempuan-perempuan Arab.
Aku
tersentak, aku mengenali wajah itu. Astaga, itu wajahku. Tapi, tidak mungkin.
Aku tidak pernah bisa melukis wajahku sendiri tanpa bantuan foto. Aku pernah
mencobanya beberapa kali, dan gagal. Lalu kesadaran itu datang, itu bukan
wajahku, itu wajah Areta.
Bersamaan
dengan itu tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa pada lengan kiriku.
Lengan kiriku berasa lumpuh dan terkulai. Terhuyung-huyung aku bangkit. Tak
kupedulikan lagi suara Mr. Frank yang terus memanggilku. Aku berjalan tersaruk
mencari pintu. Lukisan itu, rasa sakit ini, bayangan Areta menari-nari di
kepalaku.
Sebelumnya,
aku pernah merasakan hal seperti ini. Waktu itu umurku 5 tahun. Mom mengajakku
dan Areta menemaninya berbelanja di Wall Mart. Namun ketertarikanku akan
seperangkat alat lukis pertamaku mengalahkan segalanya. Aku menolak turut
serta. Saat itu aku sibuk menumpahkan banyak warna dan tiba-tiba aku berguling
kesakitan. Saking sakitnya, hingga aku merasa ada tulangku yang patah. Ketika
ayah menghampiriku dan berkata kami harus ke rumah sakit, baru kusadari bukan
aku yang menderita, namun Areta yang ternyata celaka. Di kemudian hari aku
tahu, Areta mengalami patah tulang akibat terjatuh dari tangga, yang lupa
disingkirkan oleh petugas Wall Mart.
Para
ahli fisika kuantum mendeskripsikan itu sebagai ‘partikel kembar’. Foton-foton
energi yang terpisah meski ribuan mil, berperilaku sama ketika dihadapkan
dengan suatu pilihan. Ada semacam hubungan yang tak terlihat, yang mengikat
antara keduanya dengan kecepatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kecepatan
cahaya.
Penjelasan
dari sisi human interest-nya adalah orang akan selalu memiliki perhatian
dan kepedulian terhadap orang yang mereka kasihi. Karena itu, pada suatu titik,
perasaan itu akan saling mengikat sehingga ketika mereka merasakan sesuatu,
maka perasaan itu pun akan menjadi kenyataan.
Apa
pun nama dan bentuknya, itulah yang terjadi antara aku dan Areta. Energi itu
tak hanya menerpaku, namun juga menimpa Areta. Dan perasaanku saat ini,
kuyakini sebagai suatu kondisi yang menimpa saudara kembarku.
Setengah
berlari aku menuju parkiran. Tergesa kubuka kunci mobil dengan remote dan
menghempaskan tubuhku di belakang kemudi. Dalam beberapa detik, aku sudah
menyusuri St. Charles Avenue dan melewatkan keindahan Audubon Park. Pohon ek
yang menjulang di kanan kiri jalan bagai tangan-tangan yang ingin meraihku.
Tujuan awalku adalah rumah. Jika tak kutemukan Areta di sana, aku akan
mencarinya di tempat lain.
Tiba
di halaman rumahku yang luas dan berumput lembut, kuparkirkan mobil sembarangan
dan melesat menuju kamar Areta. Namun, di anak tangga yang menghubungkan
perpustakaan dengan lorong kamarnya, tubuhku membeku. Di ambang kamarnya, aku
menyaksikan tubuh Areta terkapar. Baju berlengan panjang yang ia kenakan,
sebelah kiri lengket karena darah. Yang mencengangkan, Areta menggunakan
penutup kepala berwarna coklat dan berpakaian seperti yang biasa digunakan
perempuan-perempuan Arab. Pada tangga teratas, 2 meter di hadapanku, ayah
berdiri tegak. Senjata otomatis kaliber 0,40-nya terarah ke Areta dengan
keheningan yang absolut. Bau alkohol menguar dari tubuhnya.
Melihat
kehadiranku, Areta berusaha bangkit. Aku berlari kencang, melompati anak-anak
tangga dengan panik. Dengan kekuatan penuh, kutubruk tubuh ayah. Tepat saat
itulah, nyala jingga meledak dari moncong senjata ayah. Aku terhempas. Saat itu
aku merasa, aku benar-benar mati.
###
Cahaya
putih menyilaukan retinaku. Kesadaranku belum penuh, saat kudengar sebuah suara
menyerupai dengungan. Awalnya terdengar asing, namun perlahan, suara itu
menghipnotisku. Ia mengalun bagai sebuah simfoni yang keindahannya tak setara
dengan apa pun yang pernah kudengar selama hidupku.
Sebuah
perasaan damai dan nyaman datang merayapi sudut-sudut hatiku yang basah. Ada
rasa sakit yang sangat pada pinggangku. Namun sungguh, kebahagiaan itu bagai
membasuh rasa sakit, yang demi meraihnya, aku rela melakukan apa saja.
Aku
kira aku sudah mati. Namun tatkala bayangan sebuah wajah mengambang di atas
mataku, aku sadar, nyawaku masih menjadi bagian dari jasadku.
“Areta?”
suaraku serak.
Ia
tertegun. Menurunkan kitab Arabnya dan menatapku. Lagi-lagi penutup kepala itu,
membalut wajah tirusnya. Lengan kirinya tertutup perban.
“Alhamdulillah.”
Ucapnya. Matanya bersimbah airmata.
“Itu
yang tadi kau baca?” mataku mengarah ke kitab yang dipegangnya.
“Ya.
Ini….al-Qur’an.” Ia terbata.
“Berapa
lama kau belajar membacanya?”
“Dua
tahun. Tepat saat aku berhenti dari tim pemandu sorak.”
Aku
terdiam. “Rasa seperti itukah yang kau rasakan, tiap kali kau membacanya?”
“Apa?”
ia mengerutkan keningnya tak mengerti.
Aku
terdiam. Mengabaikan pertanyaannya. “Mau kau mengajariku membacanya?”
Matanya
mengerjap. Tak percaya. Namun sedetik kemudian ia tersenyum dan mengangguk.
“Tentu
Adelle Barnes. Tentu.”
Bogor, 14 April 2013
[Wita Dahlia, santriwati 'kalong'
Pesantren Media]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar